Asas FICTIE
Hukum : Asas
berlakunya hukum yang menganggap setiap orang mengetahui adanya sesuatu
Undang-Undang. Sehingga, tidak ada alasan seseorang membebaskan diri dari
Undang-Undang dengan pernyataan tidak mengetahui adanya Undang-Undang tersebut.
Fictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang
tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima
apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai
tidak ada. Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima
sesuatu sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang
demikian itu memegang peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak
dahulu.
Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui.
Lihat pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang
perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya
menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”.
Fiksi-fiksi tersebut mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada
itu, orang dapat mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi
sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi.
Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu
lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari
kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya
hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara
Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang
bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada
dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh
bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat.
Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan
konteks Indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam
antara NKRI dengan Negara-negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda
kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan
penerimaannya terhadap hukum negara.
Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah
bagaimana proses legal making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan
UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi
masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses
masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana
sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah diundangkan. Apakah dengan hanya
perintah untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara,
Lembaran Daerah, dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan
yang diundangkan tersebut.
Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak
mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru.
Permasalahan timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran
terhadap aturan tersebut, karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang
dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah
geografis negara Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan,
keterbelakangan wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diketahui oleh masyarakat hanya dengan perintah pencantuman ke dalam
Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dll. Ketidak mampuan pemerintah dan
aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk dan
baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidak tahuan masyarakat
terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan fiksi
hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal, sehingga
paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian mematuhi
peraturan tersebut.
Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya
bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama
dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh
perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi,
padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur
kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam
peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan.
Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari
perundang-undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang
sederhana.
Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran
hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut
mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya.
Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan
hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena
terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar
mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam
pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim,
fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk
mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat
menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses
menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus
dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja,
persangkaan mungkin benar, mungkin tidak.
BalasHapusArtikel yang bermanfaat untuk kami. Butuh motor hubungi kami. Jika mas mau beli motor baru dan tinggal di area Tulungagung,Kediri dan Trenggalek. Bisa wa kami 085 872 760 350